Oleh : Hasan B elfatih
Penulis : Guru bahasa Arab
Ketika membaca judul tulisan ini pasti pembaca, terutama para praktisi sekolah menganggap tulisan ini kontroversi dan kontraproduktif. Mengingat pemerintah sendiri telah menghimbau wajar Dikdas 9 tahun. Terlebih penulis sendiri adalah seorang pengajar di sebuah sekolah lanjutan tingkat Atas (SLTA). Apa yang mendasari ajakan jangan sekolah ini ?.
Selain terinspirasi Robert T.Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad,Por Dad, dia menyatakan, “If do you want be rich and happy, don’t go to school…!”. Begitupun dengan Bakdi Soemanto, Dosen fakultas Sastra UGM yang menulis artikel berjudul “Universitas” dan dimuat di HU.Kompas (28/3/1988). Menurut Bakdi kata “sekolah” datang dari kata “school”, yang merupakan perubahan dari kata Yunani, schole, yang artinya leisure alias waktu senggang. Bersekolah mungkin pada awalnya dimaksudkan hanya untuk mengisi waktu senggang. Namun ironisnya waktu senggang tersebut menjadi barang mahal. Untuk mengisi waktu senggang tersebut harus mengeluarkan biaya yang cukup besar, dan “kewajiban belajar” pun dibatasi oleh ruang dan waktu dan harus diakhiri dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Setelah mendapat surat sakti tersebut, tamat pula belajarnya ?. Hal ini kontradiksi dengan sabda Nabi Saw, “Carilah ilmu dari ayunan (ketika lahir) sampai liang lahad (mati)”.
Belajar tentang, bukan belajar
Dalam ruang dan waktu yang bernama sekolah ini lebih banyak diajarkan teori-teori formalitas, yang hasilnya dibuktikan dengan angka-angka nilai/IPK. Sehingga siswa lebih tahu tentang, daripada tahu atau faham yang sebenarnya. Karena mereka lebih sering belajar tentang, daripada belajar itu sendiri. Belajar tentang perbankan, tapi tidak belajar di dunia perbankan. Sehingga tidak mengherankan bila ada seorang siswa atau mahasiswa lulusan perbankan, menjadi kuli pabrik. Karena tidak adanya keahlian praktis atau tidak siap pakai. Belajar tentang naik sepeda di gedung pertemuan dan dalam acara seminar misalnya, tidak akan menjamin seseorang bisa bersepeda. Berbeda dengan sesorang yang belajar naik sepeda di jalan, akan lebih terampil bersepeda kendati tidak menguasai teknik-teknik bersepeda.
Guru bukan buruh sekolah
Ketika penulis duduk dibangku SMA, seorang guru pernah memberi bocoran jawaban Ebtanas (sekarang UAN). Penulis waktu itu berfikir, percuma bersekolah 3 tahun, kalau akhirnya jawaban Ebtanas pun harus dikasih tahu. Tahun lalu kita pun dihebohkan dengan ulah seorang oknum kepala sekolah yang memberi bocoran juawaban UAN dengan dalih “sayang” kepada anak didiknya kalau sampai tidak lulus.
Guru-guru yang telah kehilangan future oriented (orientasi masa depan) tersebut juga tidak pernah melibatkan diri dalam berbagai persolan nyata dalam masyarakatnya. Mereka hanya sibuk dan menyibukkan diri dengan kurikulum, dan secepatnya ingin menyelesaikan kurikulum tersebut.Tidak terfikir apakah pelajaran di sekolah itu berhubungan dengan kehidupan nyata di luar kelas. Akibatnya kata “guru” kemudian dijauhkan dari profesi dan diturunkan menjadi sekedar pekerja atau buruh ”sekolah”. Beberapa waktu yang lalu kita pun dikejutkan dengan aksi demo para guru yang menuntut kenaikan gaji. Sementara murid-murid terlantar, tanpa ada satupun pengajar di dalam kelas.
Sekolah adalah sarana belajar
Sekolah bukan satu-satunya sarana belajar, tapi salah satu sarana dari sekian banyak sarana belajar. Jadi orang yang tidak pernah bersekolah, tidak berarti kehilangan kesempatan untuk belajar. Sekolah di Universitas Kehidupan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu justru lebih berharga. Pengalaman adalah guru yang paling berharga, demikian kata pepatah.
Menyambut uluran tangan pemerintah melalui tunjangan, seperti BOS dan peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi, marilah kita fungsikan kembali sekolah kepada fungsi utamanya, yakni sebagai sarana belajar. Sementara guru dan murid adalah subjek, bukan objek sekolah. Begitupun lembaga sekolah harus tetap menjalin hubungan dengan para alumninya, apakah mereka masih terus belajar atau justru berhenti belajar karena sudah merasa lulus sekolah. Dalam proses belajar mengajar, baik guru maupun murid harus memiliki niat yang sama, yaitu jangan bersekolah untuk mendapat Ijazah/STTB dan gelar, tapi bersekolah sebagai jembatan untuk bisa belajar di dunia nyata dan menghasilkan karya nyata untuk masyarakat dan bangsa.