Feeds:
Pos
Komentar

JANGAN SEKOLAH…!

copy-of-100_2492.jpgOleh : Hasan B elfatih
Penulis : Guru bahasa Arab
Ketika membaca judul tulisan ini pasti pembaca, terutama para praktisi sekolah menganggap tulisan ini kontroversi dan kontraproduktif. Mengingat pemerintah sendiri telah menghimbau wajar Dikdas 9 tahun. Terlebih penulis sendiri adalah seorang pengajar di sebuah sekolah lanjutan tingkat Atas (SLTA). Apa yang mendasari ajakan jangan sekolah ini ?.

Selain terinspirasi Robert T.Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad,Por Dad, dia menyatakan, “If do you want be rich and happy, don’t go to school…!”. Begitupun dengan Bakdi Soemanto, Dosen fakultas Sastra UGM yang menulis artikel berjudul “Universitas” dan dimuat di HU.Kompas (28/3/1988). Menurut Bakdi kata “sekolah” datang dari kata “school”, yang merupakan perubahan dari kata Yunani, schole, yang artinya leisure alias waktu senggang. Bersekolah mungkin pada awalnya dimaksudkan hanya untuk mengisi waktu senggang. Namun ironisnya waktu senggang tersebut menjadi barang mahal. Untuk mengisi waktu senggang tersebut harus mengeluarkan biaya yang cukup besar, dan “kewajiban belajar” pun dibatasi oleh ruang dan waktu dan harus diakhiri dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Setelah mendapat surat sakti tersebut, tamat pula belajarnya ?. Hal ini kontradiksi dengan sabda Nabi Saw, “Carilah ilmu dari ayunan (ketika lahir) sampai liang lahad (mati)”.

Belajar tentang, bukan belajar
Dalam ruang dan waktu yang bernama sekolah ini lebih banyak diajarkan teori-teori formalitas, yang hasilnya dibuktikan dengan angka-angka nilai/IPK. Sehingga siswa lebih tahu tentang, daripada tahu atau faham yang sebenarnya. Karena mereka lebih sering belajar tentang, daripada belajar itu sendiri. Belajar tentang perbankan, tapi tidak belajar di dunia perbankan. Sehingga tidak mengherankan bila ada seorang siswa atau mahasiswa lulusan perbankan, menjadi kuli pabrik. Karena tidak adanya keahlian praktis atau tidak siap pakai. Belajar tentang naik sepeda di gedung pertemuan dan dalam acara seminar misalnya, tidak akan menjamin seseorang bisa bersepeda. Berbeda dengan sesorang yang belajar naik sepeda di jalan, akan lebih terampil bersepeda kendati tidak menguasai teknik-teknik bersepeda.

Guru bukan buruh sekolah
Ketika penulis duduk dibangku SMA, seorang guru pernah memberi bocoran jawaban Ebtanas (sekarang UAN). Penulis waktu itu berfikir, percuma bersekolah 3 tahun, kalau akhirnya jawaban Ebtanas pun harus dikasih tahu. Tahun lalu kita pun dihebohkan dengan ulah seorang oknum kepala sekolah yang memberi bocoran juawaban UAN dengan dalih “sayang” kepada anak didiknya kalau sampai tidak lulus.

Guru-guru yang telah kehilangan future oriented (orientasi masa depan) tersebut juga tidak pernah melibatkan diri dalam berbagai persolan nyata dalam masyarakatnya. Mereka hanya sibuk dan menyibukkan diri dengan kurikulum, dan secepatnya ingin menyelesaikan kurikulum tersebut.Tidak terfikir apakah pelajaran di sekolah itu berhubungan dengan kehidupan nyata di luar kelas. Akibatnya kata “guru” kemudian dijauhkan dari profesi dan diturunkan menjadi sekedar pekerja atau buruh ”sekolah”. Beberapa waktu yang lalu kita pun dikejutkan dengan aksi demo para guru yang menuntut kenaikan gaji. Sementara murid-murid terlantar, tanpa ada satupun pengajar di dalam kelas.

Sekolah adalah sarana belajar
Sekolah bukan satu-satunya sarana belajar, tapi salah satu sarana dari sekian banyak sarana belajar. Jadi orang yang tidak pernah bersekolah, tidak berarti kehilangan kesempatan untuk belajar. Sekolah di Universitas Kehidupan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu justru lebih berharga. Pengalaman adalah guru yang paling berharga, demikian kata pepatah.

Menyambut uluran tangan pemerintah melalui tunjangan, seperti BOS dan peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi, marilah kita fungsikan kembali sekolah kepada fungsi utamanya, yakni sebagai sarana belajar. Sementara guru dan murid adalah subjek, bukan objek sekolah. Begitupun lembaga sekolah harus tetap menjalin hubungan dengan para alumninya, apakah mereka masih terus belajar atau justru berhenti belajar karena sudah merasa lulus sekolah. Dalam proses belajar mengajar, baik guru maupun murid harus memiliki niat yang sama, yaitu jangan bersekolah untuk mendapat Ijazah/STTB dan gelar, tapi bersekolah sebagai jembatan untuk bisa belajar di dunia nyata dan menghasilkan karya nyata untuk masyarakat dan bangsa.;)

Ayat-Ayat Cinta

Kekasih………….! Lanjut Baca »

Wake Up….., brother !

You must Strong, you must strugle, you must fight on the everytime…..! Lanjut Baca »

Oleh ; YUNI MUSTIKAWATI
PENULIS : Siswi Kelas X

Berantas Koruptor,
Bebaskan Indonesia dari Korupsi Lanjut Baca »


Oleh : Suhendi, S.Sos
Penulis : Kepala MA Uswatun Hasanah Padalarang

Membincangkan persoalan pendidikan kontemporer di negeri ini sebenarnya tidak ada habisnya. Persoalan yang tidak dapat dilepaskan begitu saja atas carut-marutnya permasalahan pelik bangsa ini dari hulu hingga hilir. Terlebih pada dunia pendidikan kita yang seakan-akan berjalan di tempat, bahkan dapat dikatakan pula semakin memprihatinkan. Sebenarnya hal ini sudah bukan lagi sebuah rahasia, tapi entah kenapa belum ada formula jitu untuk mengatasi itu semua. Mulai dari banyaknya sekolah yang ambruk, minimnya sarana pendidikan, gaji guru yang tidak memadai atas segala kebutuhan kesehariannya, lulusan yang tidak berkualitas hingga pada kurikulum yang selalu tidak jelas orientasinya. Memang untuk mengatasi itu semua tidak semudah membalikkan telapat tangan. Namun, dari segala persoalan di atas, yang kini selalu mendapat perhatian masyarakat dan berita di media massa ialah berbicara tentang guru dan kurikulum. Guru yang saat ini mulai diangkat martabatnya oleh pemerintah dengan menjadikan guru sebagai salah satu profesi sebagaimana profesi dokter dan lain sebagainya. Untuk itulah pemerintah mengadakan dan menggelar program sertifikasi bagi guru dan dosen. Begitu pula dengan wacana kurikulum dari pemerintah yang terbaru. Kurikulum yang digelontorkan oleh pemerintah yang sering disebut dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Suatu kurikulum yang diprediksikan mampu merombak sistem pendidikan kita yang tidak tepat sasaran. Dengan memberikan kebijakan penuh kepada masing-masing sekolah untuk membuat dan melaksanakan kurikulumnya sendiri. Oleh sebab itulah, patut pula kita sedikit berbangga diri karena peningkatan mutu pendidikan Indonesia kini terlihat terus dibenah. Selain untuk memiliki daya saing yang kuat di era global, setelah menilik kembali akan pendidikan kita ternyata jauh dari kesempurnaan. Pendidikan selama ini terasa tidak dapat menopang peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah berbagai potensi untuk melakukan pembaruan dalam pendidikan perlu mendapatkan perhatian. Memaksimalkan kembali faktor-faktor -baik secara langsung maupun tidak langsung- dalam proses kelangsungan pendidikan tidak dapat lagi untuk ditawar dan ditunda-tunda lagi. Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua faktor utama –tanpa mengaggap remeh faktor-faktor yang lain- yaitu pendidik (guru) dan konsep atas materi dalam sebuah tingkat satuan pendidikan yang dalam hal ini dapat kita sebut sebagai kurikulum. Keduanya merupakan fondasi pokok akan sebuah pendidikan. Jika kedua faktor tersebut sudah mapan kemungkinan besar mutu pendidikan juga akan baik. Terbukti sebaik apapun input (peserta didik) tidak banyak memiliki signifikansi yang tinggi nantinya pada saat output-nya. Dalam hal peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru, pemerintah telah memberikan perhatian penuh dengan kebijakan sertifikasinya. Walaupun disinyalir tetap memiliki banyak kelemahan, namun program ini setidaknya telah menggairahkan kembali semangat seseorang yang mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Dalam beberapa bulan ini, mereka seakan-akan belomba menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Berbagai prasyarat mendapatkan setifkasi dilaluinya dengan sabar, tabah dan tekun. Sejalan dengan ini, pemerintah juga mengharapkan kepada guru untuk secara penuh menerapkan KTSP. Kurikulum yang sebenarnya juga bermuara pada kompetensi peserta didik atau dulu sempat dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK. KTSP sendiri masih tidak dapat dilepaskan dari KBK, namun dengan KTSP tiap-tiap sekolah dan guru memiliki otonomi sendiri secara penuh untuk mengembangkan dan melaksanakan kurikulumnya sendiri sesuai dengan karekteristik masing-masing dalam proses pembelajarannya. Persoalan yang muncul kemudian ialah pada diri guru itu sendiri. Guru jika disandingkan dengan pengimplementasikan KTSP. Tidak dapat dipastikan bahwa semua guru mampu menerapkan KTSP dengan baik dan tepat. Hingga hari ini pun, persoalan penerapan KTSP masih menjadi tanda tanya besar bagi sebagian guru. Tentunya hal ini juga membutuhkan skil tersediri bagi guru untuk melahirkan kurikulum yang mencerdaskan. Bukan kurikulum yang sebaliknya. Padahal gurulah garda terdepan dalam mengaplikasikan kurikulum yang tengah diluncurkan oleh pemerintah ini. Sebenarnya, KTSP memberikan peluang kepada guru pada masing-masing sekolah untuk menunjukkan kreativitasnya. Pemerintah tetap menetapkan standar kurikulum. Namun bagi tiap-tiap daerah tentu memiliki karekteristik pada masing-masing sekolah untuk dapat melaksanakannya secara lebih. Guru dengan segala kretivitasnya diharapkan mampu mengkonsep dan menjalankan kurikulum itu. Perlu diingat pula bahwa dalam pengimplementasi kurikulum itu tetap berbasiskan pada kompetensi peserta didik. Sebuah terobosan yang harus mendapatkan perhatian dari sekolah terutama guru. Walalupun pada dasarnya dengan penerapan KTSP sendiri hingga hari ini masih sulit untuk menemukan model pendidikan yang baik dan berkualitas. Untuk itulah, sebagai pemegang tanggungjawab utama dalam pendidikan, guru tidak hanyak dituntut mempunyai pengetahuan yang tinggi dan wawasan yang luas. Namun kini, kreativitas guru dalam memformulasikan kurikulum yang dapat mencerdaskan peserta didiknya mutlak dibutuhkan guna peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang. Sebagai bagian dari empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru secara sekaligus. Tentu hal ini membutuhkan kesabaran tersendiri bagi mereka yang kini mengabdikan jiwa-raganya dalam dunia pendidikan secara profesional. Semoga Berhasil!